Apa itu jiwa (an-nafs)? Pertama-tama, kita harus tahu bahwa Allah telah mengilhamkan kepada setiap jiwa manusia: fujur (potensi buruk) dan taqwa (potensi baik). Allah SWT berfirman dalam QS Asy-Syams: 7-8: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (potensi) kefasikan dan ketakwaannya.”
Dua potensi ini ada pada jiwa/nafsu setiap manusia. Tinggal kita masing-masing, mau menguatkan potensi baiknya ataukah potensi buruknya?
Nah, dari sinilah manusia itu kemudian secara ekstrim bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, manusia yang bisa mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu tunduk kepada dirinya. Ini sesuai dengan firman Allah dalam QS An-Nazi’at: 40-41: “Adapun orang yang takut terhadap kebesaran Tuhannya dan menahan dirinya dari ajakan hawa nafsu, maka sesungguhnya surga akan menjadi tempat kembalinya.” Selaras dengan ayat ini, Rasulullah saw bersabda, “Laa yu’minu ahadukum hataa yakunu hawaahu taba’an lima ji’tu bihi (Tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa).”
Adapun jenis manusia yang kedua adalah manusia yang dikendalikan dan diperbudak oleh nafsunya, sehingga ia tunduk kepada nafsu. Tentang jenis manusia ini, Allah SWT berfirman dalam QS Al-Furqan: 43: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”
Apakah jiwa/nafsu manusia itu ada macam-macamnya atau tingkatan-tingkatannya?
Allah sendiri dalam Al-Qur’an setidak-tidaknya menyifati jiwa/nafsu dengan tiga sifat, yang mengindikasikan macam-macam / tingkatan-tingkatan nafsu: An-Nafs Al-Muthmainnah, An-nafs Al-Lawwamah, dan An-Nafs Al-Ammarah bis Suu’.
Apa itu An-Nafsul Muthmainnah?
An-Nafs Al-Muthmainnah artinya Jiwa yang Tenang. Inilah jiwa/nafsu yang tenang dan tentram karena senantiasa mengingat Allah. Jiwa/nafsu yang tenang dan tentram karena senantiasa gemar berdekatan dengan Allah. Jiwa/nafsu yang tenang dan tentram dalam ketaatan kepada Allah. Jiwa/nafsu yang tenang dan tentram baik ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan nikmat. Jika mendapatkan musibah, ia ridha terhadap taqdir Allah. Jika kehilangan sesuatu, ia tidak putus asa. Dan jika ia mendapatkan nikmat, ia tidak lupa daratan.
Inilah jiwa/nafsu yang tenang dan tentram dalam iman. Tidak tergoyahkan oleh keragu-raguan dan syubhat. Jiwa/nafsu yang rindu untuk bertemu dengan Tuhannya.
Dan inilah jiwa/nafsu yang ketika wafat dikatakan kepadanya: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai.” (QS Al-Fajr: 27-28)
Lalu apa itu An-Nafsul Lawwamah?
An-Nafs Al-Lawwamah artinya Jiwa yang Suka Mencela. Dalam QS Al-Qiyamah: 2, Allah SWT bersumpah dengan jiwa/nafsu jenis ini: “Dan aku bersumpah dengan an-nafs al-lawwamah.”
Jika nafs muthmainnah adalah jiwa/nafsu yang stabil, kokoh, tenang, dan tentram, maka nafs lawwamah adalah jiwa/nafsu yang labil dan goyah, mudah berubah-ubah keadaannya. Kadang ingat sama Allah, kadang lalai. Kadang suka memaafkan, kadang suka marah-marah. Kadang sabar, kadang tidak sabar. Kadang taat, kadang bermaksiat.
Dikatakan lawwamah yang secara bahasa artinya ‘suka mencela’, karena jiwa/nafsu ini ‘suka mencela diri sendiri’. Ketika melakukan banyak ketaatan, ia tenang. Tetapi ketika melakukan sedikit ketaatan ia mencela diri sendiri kenapa tidak berbuat lebih banyak. Dan ketika melakukan keburukan atau kemaksiatan, ia mencela dirinya sendiri karena menyesali perbuatan buruk atau maksiatnya itu. “Mengapa aku tadi melakukan keburukan ini?” “Mengapa tadi aku tidak begini atau begitu?”
Barangkali ini adalah jiwa/nafsu dari kebanyakan kita. Masih labil.
Terakhir, apa itu An-Nafsul Ammarah bis Suu’?
An-Nafs Al-Ammarah bis-Suu’ artinya Nafsu yang Senantiasa Mengajak kepada Keburukan. Tentang jiwa/nafsu jenis ini, Allah SWT berfirman dalam QS Yusuf: 53: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa/nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Ini adalah jiwa/nafsu yang buruk dan tercela, karena ammarah bis suu’, senantiasa mengajak kepada keburukan. Tetapi memang inilah sifat dasar dari jiwa/nafsu. Jika jiwa/nafsu tidak kita bina, tidak kita didik, tidak kita kendalikan, tidak kita bersihkan, maka ia akan senantiasa mengajak kepada keburukan.
Tetapi jika kita bina, kita didik, kita kendalikan, dan kita bersihkan, maka jiwa/nafsu kita akan naik peringkat: dari nafsu ammarah bis suu’ meningkat menjadi nafsu lawwamah, dan kemudian meningkat lagi menjadi nafsu muthmainnah.
Dan membina jiwa/nafsu ini memang tidak mudah, perlu mujahadah (usaha ekstra keras). Tetapi bagaimanapun juga harus kita lakukan. Jika tidak, selamanya kita tidak akan bisa mengendalikan hawa nafsu kita. Karena itu Imam Al-Bushiri dalam qashidah Burdah-nya mengatakan: “Jiwa/nafsu itu seperti bayi yang menetek pada ibunya. Jika pada waktunya disapih ia tidak disapih, maka ia akan selamanya menetek pada ibunya.”
Lalu, bagaimana peran syetan dalam mempengaruhi jiwa/nafsu manusia?
Syetan memang akan selalu menggoda manusia, tanpa kenal menyerah. Pada orang-orang yang memiliki nafsu muthmainnah, yang lebih dominan menyertainya adalah para malaikat. Sedangkan pada orang-orang yang memiliki nafsu ammarah bis suu’, yang lebih dominan menyertainya adalah para syetan. Karena itu tidaklah mengherankan jika orang-orang tua kita dahulu dengan sedikit guyon mengatakan: “Syetan yang menggoda orang-orang yang taat, yang nafsunya muthmainnah, itu kurus-kurus. Sedangkan syetan yang menggoda orang-orang yang suka bermaksiat, yang nafsunya lawwamah, itu gemuk-gemuk.” (Menaraislam.com)
Posting Komentar