Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 14: “Hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syariah. Tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukumnya. Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 83).
Pengantar
Manusia adalah makhluk termulia di antara makhluk-makhluk Allah lainnya, yang diciptakan hanya untuk menjalankan satu misi, yaitu beribadah kepada Allah semata, Zat Yang Mahamulia lagi Mahaperkasa (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Dengan kata lain, kewajiban manusia adalah menaati semua perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Hanya saja, keimanan seorang manusia itu fluktuatif; al-îmânu yazîdu wa yanqushu, keimanan seseorang itu pasti mengalami pasang surut atau naik turun. Dalam kondisi keimanannya yang turun, tidak menutup kemungkinan seorang manusia terbawa arus menuju suatu perbuatan yang dilarang Allah.
Oleh karena itu, negara wajib menjaga individu-indivudu warganya-yang berpotensi melakukan kemaksiatan-agar senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariah, yang dengan keterikatannya itu ia dijamin dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk bisa menjalankan kewajiban ini dengan sempurna, negara membutuhkan ketetapan hukum formil, berupa UUD, yang sifatnya mengikat.
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 14, yang berbunyi: “Hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syariah. Tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukumnya. Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 83).
Kesempurnaan Syariah Islam
Islam datang dengan membawa seperangkat hukum yang komprehensif untuk menjawab setiap persoalan yang terjadi pada manusia, kapanpun dan di manapun. Tentang kesempurnaan syariah Islam ini, ditegaskan sendiri oleh Zat Yang Mahaempurna. Karena itu, sekecil apapun mustahil ada kekurangan di sana-sini. Allah SWT berfirman:
]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan untuk kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).
Kesempurnaan agama adalah kesempurnaan penjelasan menurut yang dikehendaki Allah SWT, sang Pemilik agama. Kesempurnaan itu terjadi, tentu setelah diturunkan hukum-hukum terkait akidah, sehingga tidak ada alasan bagi kaum Muslim untuk tidak mengetahuinya; setelah menjelaskan hukum-hukum tentang kaidah hukum Islam dengan perkataan dan perbuatan; serta setelah menjelaskan hukum-hukum seputar muamalah dan dasar-dasar sistem Islam (Ibnu Asyur, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, VI/102).
Oleh karena itu, Allah SWT menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan manusia, baik yang terkait hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesamanya, semuanya telah dijelaskan dalil-dalilnya di dalam al-Quran (QS an-Nahl [16]: 89).
Hal ini pun dikuatkan lagi oleh kaidah bahasa Arab, yakni apabika kata “kull[un]” itu di-mudhaf-kan atau disandarkan pada isim nakirah (kata benda tidak tentu), maka maksudnya adalah istighrâq, yaitu mencakup segala jenis sesuatu (Al-Khathib, al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-I’râb, hlm. 351). Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan, dan tidak pula benda, kecuali Allah telah menjelaskan dalil-dalil hukumnya, termasuk dalil kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Dengan demikian, siapa saja-setelah memahami kedua ayat tersebut-yang mengatakan, bahwa ada sebagian perbuatan, benda atau fakta yang sama sekali tidak ada dalil hukumnya menurut syariah, maka dengan perkataannya itu sungguh ia telah menghina dan melecehkan kesempurnaan syariah Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84; Abdullah, Dirâsât fi al-Fikr al-Islami, hlm. 11).
Wajib Terikat dengan Syariah
Kesempurnaan syariah itu tidak akan berarti apa-apa bagi manusia tanpa adanya keterikatan dengannya. Karenanya, Allah memerintahkan setiap Muslim agar dalam menjalankan semua aktivitasnya senantiasa sejalan dengan hukum syariah. Bahkan Allah menafikan keimanan mereka yang tidak terikat dengan syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. ini (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Peniadaan keimanan dari mereka yang tidak terikat syariah dipertegas oleh Rasulullah saw dengan sabdanya:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ»
Tidaklah beriman seseorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (HR Abu Hatim dalam Shahih-nya).
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berkata, “Jika keimanan itu tidak akan diraih hingga seorang hamba tunduk dan berserah kepada Rasulullah saw., menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang beliau bawa, menjadikan Rasulullah dan jihad didahulukan mengalahkan cintanya kepada diri, harta dan keluarganya, maka bagaimana terkait dengan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah SWT?” (Ibnu Taimiyah, Maj’mû’ al-Fatâwa, X/287).
Oleh karena itu, jika seorang Muslim hendak melakukan perbuatan apapun, ia wajib terikat dengan hukum Allah terkait dengan perbuatan tersebut. Jika seorang Muslim hendak mengambil atau memberikan sesuatu apapun, ia pun wajib terikat dengan hukum Allah terkait dengan sesuatu tersebut. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak boleh melakukan perbuatan atau memanfaatkan sesuatu apapun di luar ketentuan hukum, yakni harus selalu terikat dengan syariah. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 84).
Hukum Asal Perbuatan
Hukum syariah adalah seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) yang berkaitan dengan perbuatan (af’âl) manusia. Seruan itu datang untuk menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu (asyyâ’). Ketika seruan itu datang untuk sesuatu, maka itu disebabkan bahwa sesuatu itu berhubungan erat dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, hukum asal seruan ditujukan untuk perbuatan manusia, bukan untuk sesuatu. Dalam hal ini sama saja, ada seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) tanpa menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:
] كُلُوا وَاشْرَبُوا[
Makan dan minumlah (QS al-Baqarah [2]: 60).
Ada juga seruan yang datang untuk sesuatu (asyyâ’) tanpa menyebutkan perbuatan (af’âl)-nya sama sekali, seperti firman Allah SWT:
]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ[
Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi (QS al-Baqarah [2]: 60).
Hukum haram pada ketiga benda ini tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia yang berhubungan dengan benda itu seperti memakannya, menjualnya, membelinya dan perbuatan manusia lainnya yang berhubungan dengan benda-benda itu.
Ada juga seruan yang datang untuk perbuatan (af’âl) dengan menyebutkan sesuatu (asyyâ’)-nya, seperti firman Allah SWT:
] لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا[
Agar kalian dapat memakan darinya daging yang segar (ikan) (QS an-Nahl [16]: 14).
Seruan pada ayat-ayat di atas, semuanya ditujukan untuk perbuatan manusia. Mengingat seruan dari Pembuat hukum (khithâb Asy-Syâri’) itu tidak lain adalah terkait dengan perbuatan manusia, maka di sinilah ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal perbuatan manusia, yaitu:
الأَ صْلُ فِي الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ
Hukum asal setiap perbuat manusia itu terikat dengan hukum syariah.
Artinya, hukum asal semua perbuatan manusia itu adalah memiliki hukum syariah yang wajib dicari dari dalil-dalil syariah sebelum melakukan perbuatan. Sebab, tujuan dari melakukan perbuatan itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Adapun diterimanya ibadah itu harus memenuhi dua syarat: ikhlas karena Allah dan kesesuaiannya dengan hukum syariah (Al-Badrani, Îqâd al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, hlm. 221).
Hukum Asal Benda
Sesuatu/benda (asyyâ’) bukanlah perbuatan (af’âl). Sesuatu (asyyâ’) adalah benda atau materi yang digunakan manusia dalam menjalankan perbuatannya. Perbuatan (af’âl) adalah apa yang dilakukan manusia, baik berupa aktivitas maupun perkataan untuk memenuhi kebutuhannya (Ismail, al-Fikr al-Islâmi, hlm. 35).
Hukum yang terkait dengan sesuatu/benda itu datang melalui dalil umum yang menjelaskan hukum perbuatan. Adapun dalil yang datang secara khusus untuk sesuatu/benda, maka itu merupakan pengecualian atas dalil umum tersebut. Sebab, tuntutan melakukan (thalab al-fi’l) atau memilih (at-tahyîr) itu mencakup setiap sesuatu, dan setiap sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan itu adalah mubah (halal). Karena itu, mengharamkan sesuatu dari sesuatu-sesuatu itu butuh pada nash atau dalil, misalnya firman Allah SWT:
]وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ[
Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari Allah (QS al-Jatsiyah [45]: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap sesuatu/benda yang ada di langit dan di bumi, yang Allah ciptakan untuk manusia, semuanya adalah mubah (halal).
Dari sini maka ditetapkan sebuah kaidah syariah yang terkait dengan hukum asal sesuatu/benda, yaitu:
الأَ صْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Hukum asal setiap sesuatu/benda adalah mubah (halal) selama belum ada dalil yang mengharamkannya.
Dalam hal ini al-Qaradhawi berkata, “Dalam syariah Islam arena atau wilayah haram-terkait sesuatu-sangatlah sempit sekali. Sebaliknya, arena atau wilayah halal malah sangat luas sekali. Sebab nash-nash sahih dan tegas yang mengharamkan sesuatu jumlahnya sangat sedikit sekali. Adapun sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, dikembalikan pada hukum asalnya, yaitu mubah (halal), dan masuk dalam kategori yang dima’fukan Allah.” (Al-Qaradhawi, Al-Halâl wal Harâm fil Islâm, hlm. 20).
Dengan adanya ketetapan undang-undang seperti ini, maka tidak akan pernah terjadi kasus-kasus seperti yang dialami para TKW selama ini. Sebab, negara yang berkewajiban menjaga keterikatan setiap warga negaranya terhadap syariah tidak akan membiarkannya melakukan perbuatan yang di dalamnya ada pelanggaran terhadap syariah Islam, sekalipun perbuatan itu mendatangkan devisa atau manfaat lainya bagi negara. Sebab, halal-haram merupakan satu-satunya tolok ukur yang digunakan negara dalam mengatur roda pemerintahannya.
WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan
Abdullah, Muhammad Husain, Dirâsât fil Fikri al-Islami, (Beirut: Dar al-Bayâriq), 1990.
Al-Badrani, Izzuddin Hisyam bin Abdul Karim, Îqâd al-Fikri Qirâ’ah fi Kitab al-Fikr al-Islâmi, tanpa penerbit, tanpa tahun.
Ibnu Asyur, Muhammad ath-Thahir, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun), 1997.
Ibnu Taimiyah, Abdus Salam bin Abdullah bin Ali, Maj’mû’ al-Fatâwa, (Dar Alam al-Kutub), tanpa tahun.
Ismail, Muhammad Muhammad, Al-Fikr al-Islâmi, (Beirut: al-Maktabah al-Wa’ie), 1958.
Al-Khathib, Thahir Yusuf, Al-Mu’jam al-Mufashshal fil I’râb, (Al-Haramain), tanpa tahun.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Al-Halâl wal Harâm fil Islâm, (Darul Ma’rifah), 1985.
Posting Komentar