Apakah Pak SBY pernah makan tiwul?

Assalaamu’alaikum wr wb
Jujur saja saya juga baru tahu kemarin ketika informasi meninggalnya 6 orang di Jepara setelah mereka makan tiwul yang diduga beracun. Saya tenggelam dengan kesibukan dan urusan macam-macam, sehingga berita seperti itu luput dari perhatian saya, padahal kejadiannya di awal tahun ini. Sedih membaca berita ini. Kemarin, saya membaca esainya Mas Naryo (Sunaryo Adhiatmoko) di harian Republika (14/01/2011). Dalam rubrik “tepimanusia” hasil kerjasama Republika dengan Al Azhar Peduli Umat itu Mas Naryo–biasa saya menyapanya demikian–menuliskan judul: Retorika Tiwul. Tulisannya menarik dan sangat menyentuh. Terutama ketika menceritakan masa kecilnya di sebuah kampung di selatan Jawa Timur. Mas Naryo, dan warga sekitarnya sudah terbiasa memakan tiwul. Nasi, adalah barang langka yang jarang didapatkan kecuali pada saat hari raya atau ada yang hajatan saja.

 
Nah, dalam tulisan ini saya sekadar melengkapi saja. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan cuplikan sejarah kekhilafahan Islam dalam mensejahterakan rakyatnya. Saya sendiri belum pernah makan tiwul, panganan dari ampas ketela pohon (singkong) itu. Tapi waktu kecil di desa, saya pernah mencoba makan gaplek (bahan makanan yang diolah dari umbi ketela pohon atau singkong. Prosesnya sangat mudah; umbi singkong yang telah dipanen kemudian dikupas dan dikeringkan). Saya memakan gaplek bukan karena tidak ada nasi, tetapi sekadar mencoba makanan tersebut. Tidak terlalu buruk, cuma karena tidak terbiasa jadi tidak terlalu suka. Kemudian saya membayangkan, bagaimana rasanya jika terpaksa harus memakan gaplek seperti beberapa teman saya waktu itu yang sepertinya sering melakukannya. Sebab, memang makanan itulah yang murah meriah sesuai kondisi ekonomi mereka.
Dalam benak saya saat hendak menulis esai ini, hanya berpikir: kenapa masih ada kehidupan yang begitu sulit dijalani oleh sebagian besar masyarakat, sementara sebagian kecil lainnya hidup mewah? Saya jadi ingat pernyataan Pak AM Saefuddin, mantan Menteri Pangan dan Hortikultura di era Presiden BJ Habibie (1998-1999), ketika saya dan seorang rekan mewawancarai beliau untuk Majalah Permata. Apa pernyataannya? Pak AM mengatakan bahwa ada dua jenis kemiskinan: kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
Kemiskinan yang kultural adalah kondisi dimana kemiskinan sudah seperti turun temurun alias sudah membudaya dari ‘sononya’, yakni seseorang miskin karena keluarganya miskin dan memang masyarakat di sekitarnya juga miskin. Sementara kemiskinan struktural, adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan sebuah sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara. Sama-sama miskin, tapi kemiskinan struktural korbannya bisa berlipat ganda dari kemiskinan kultural. Efeknya juga lebih dahsyat, karena negara justru berperan dalam memiskinkan sebagian besar rakyatnya. Malah slogan “mengentaskan kemiskinan” sering diplesetkan menjadi “mengentaskan orang miskin” dari putaran roda kehidupan.
Faktanya saat ini: yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya. Pantas saja jika Bang Haji Rhoma Irama pernah mendendangkan lagu “Indonesia” pada album Soneta Vol. 11, berikut penggalan liriknya: Hijau merimbuni daratannya/ Biru lautan di sekelilingnya/ Itulah negeri Indonesia/ Negeri yang subur serta kaya raya/Seluruh harta kekayaan negara/ Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya/ Namun hatiku selalu bertanya-tanya/ Mengapa kehidupan tidak merata/ Yang kaya makin kaya/ Yang miskin makin miskin/ Yang kaya makin kaya/ Yang miskin makin miskin.
Di masa Orde Baru, lagu Bang Rhoma ini tentu membuat penguasanya ‘kebakaran jenggot’. Sayangnya, saat ini Bang Rhoma belum mengeluarkan lagu-lagu berlirik ‘pedas’, padahal sasarannya begitu empuk karena kondisinya jauh lebih parah ketimbang di masa Orde Baru berkuasa.
Kembali ke judul posting saya: “Apakah Pak SBY pernah makan tiwul?” Ya, judul ini sengaja saya tulis seperti ini. Ini mungkin pernyataan retoris, tak membutuhkan jawaban dari yang bersangkutan atau siapapun. Judul tulisan ini pun adalah sebagai reaksi saya saja atas kekurangpekaan penguasa dan ironi kapitalisme dengan mesin politiknya bernama demokrasi. Enam orang yang meninggal dunia setelah makan tiwul yang diduga beracun (mungkin proses pengolahannya yang tercemar atau singkongnya sendiri sudah tidak layak makan), cukup menampar pemerintah. Bagaimana tidak, kejadian tersebut hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah yang melakukan rapat khusus bidang ekuin, di Istana Bogor. Dalam rapat tersebut dirilis laporan tentang turunnya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan angka statistik kemiskinan turun 1,5 juta. Orang miskin dari 32,5 juta, turun menjadi 31 juta jiwa. Ternyata, angka-angka itu tak ada artinya lagi ketika realita di lapangan berkata lain. Benar adanya jika Darrell Huff pernah menulis buku “How to Lie With Statistics”. Tidak selamanya angka-angka itu menjamin kebenaran. Sebab, statistik bisa digunakan untuk berbagai keperluan: pencitraan, kampanye, ancaman, sosialisasi dsb.
Mengurus kesejahteraan rakyat dan sikap hidup pemimpin, Pak SBY dan jajarannya perlu ‘belajar’ kepada Khalifah Umar bin Khaththab ra. Khalifah Umar bin Khaththab ra adalah sosok pemimpin yang peduli kepada rakyatnya. Ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khaththab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya, “Apa nama makanan ini?”
“Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma”, jawab salah seorang dari mereka.
Sang gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum. “Subhanallah. Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab di Madinah dia akan senang,” ujar Utbah.
Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak. Setelah makanan tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke Madinah dan membawa habish untuk Khalifah Umar bin Khaththab. Ketika makanan itu sampai ke tangan Umar bin Khaththab, beliau segera membuka dan mencicipinya, “Makanan Apan ini?” tanya Umar.
“Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang utusan.
“Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bisa menikmati makanan ini?”, tanya Umar lagi.
“Tidak. Tidak semua bisa menikmatinya”, jawab utusan itu gugup
Wajah Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memerintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negerinya. Kepada gubernurnya ia menulis surat “…makanan semanis dan seselezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu!”
Umar bin Khaththab ra adalah pemimpin yang hebat, namun beliau juga memiliki teladan terhebat sepanjang masa, yakni Rasulullah saw. Dalam hadits shahih dari Imam Bukhari-Muslim diriwayatkan bahwa suatu ketika Umar bin Khaththab ra menemui Rasulullah saw. Saat itu Rasulullah saw. tengah menyendiri di gudang rumahnya. Tatkala Umar datang, ia mendapati Rasulullah saw. tengah berbaring di atas tikar dan terlihat guratan tikar pada wajah dan tubuh beliau. Sedangkan makanan beliau saat itu hanyalah segantang gandum dan qarazh yang disimpan di sudut kamar. Melihat keadaan itu bercucuranlah air mata Umar. Lalu Rasulullah saw. bertanya, “Kenapa engkau menangis, hai Ibnu Khaththab?” Umar menjawab, “Ya, Nabiyallah! Aku menangis karena melihat tikar ini membekas di rusuk Anda. Dan gudang ini tidak menyimpan apa-apa. Padahal gudang kaisar Romawi dan kisra Persia berlimpah dengan buah-buahan dan serba cukup adanya. Sedangkan engkau adalah Rasulullah dan pilihanNya. Beginilah keadaan gudang simpanan engkau.”
Sahabat, saya tidak tahu makanan atau harta apa saja yang ada di kediaman SBY dan para pejabat negeri ini, tetapi jika dilihat dari ‘gayanya’ mereka berkecukupan dalam hidupnya. Sementara banyak dari rakyatnya yang hidup menderita, mengemis di jalanan, mencari makan di tempat sampah, tidak memiliki tempat tinggal layak, mati kelaparan dan berbagai gambaran buram dan pudar dari potret kehidupan negeri yang makin tak beradab ini. Kapitalisme memang bukan milik rakyat kecil, sistem ini justru menjadi ‘neraka’ bagi mereka, sementara kapitalisme adalah ‘surga’ bagi penguasa dan orang-orang kaya.
Semoga Pak SBY mau ‘belajar’ dari Khalifah Umar bin Khaththab ra dan tentu saja yang utama dari Rasulullah saw. Jika memang mau belajar menjadi lebih baik, mulailah dari mencampakkan kapitalisme-demokrasi-sekularisme. Lalu tegakkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Apa Pak SBY mau? Saya khawatir, dia tidak mau.
Salam,

O. Solihin 

[Sumbr] 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Copyright © 2013. Berita Menarik - All Rights Reserved
Design by Gusti Putu Adnyana Powered by idblogsite.com