Puasa Ramadhan adalah: aktivitas menahan dari makanan, minuman, dan bersetubuh, dengan niat taqorrub (mendekatkan diri kepada Allah), yang dimulai sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari di hari-hari bulan Ramadhan. Hukum Puasa Ramadhan adalah wajib bagi setiap muslim yang baligh dan ‘âqil (berakal). Baligh bagi laki-laki ditandai dengan mimpi basah atau keluar mani, atau tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan, sedangkan bagi wanita dengan salah satu diantara dua hal tersebut atau datangnya masa haidh. Orang terhitung berakal selama mampu membedakan antara manfaat dan bahaya, tidak idiot atau gila.
Keutamaan Bulan Ramadhan dan Puasa Ramadhan
Diantara keutamaan bulan Ramadhan adalah: bulan diturunkannya Al-Qur’an, bulan pengampunan, dibukanya pintu-pintu surga, ditutupnya pintu-pintu neraka, dibelenggunya setan-setan, di dalamnya terdapat malam Al-Qodr yang lebih mulia dari 1000 bulan, dan pelaku qiyam Ramadhan (shalat tarowih) dijanjikan ampunan atas dosa-dosanya yang lalu, jika dilakukan bersama imam maka tercatat sebagai shalat semalam suntuk, dan pahala ‘umroh di Ramadhan setara dengan pahala Haji.
Sedangkan diantara keutamaan puasa Ramadhan adalah: bagi yang berpuasa dengan keimanan dan berharap pahala akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, mendapat dua kesenangan: ketika berbuka dan ketika berjumpa Allah swt, menjadi kaffarat (penebus) atas dosa-dosa yang terjadi diantara setiap bulan Ramadhan di setiap tahunnya, satu-satunya ibadah yang pahalanya dilipatgandakan tanpa batas, menjadi perisai dari api neraka, mendapat keistimewaan surga Ar-Royyan, puasa akan memberi syafa’at kelak kepada pelakunya, tergolong shiddiqin dan syuhada’, dan dikabulkan doa-doa selama berpuasa terutama menjelang berbuka.
Penentuan Awal dan Akhir Bulan Ramadhan
Awal bulan Ramadhan ditetapkan berdasarkan kemunculan hilâl (bulan sabit) Ramadhan yang diketahui dengan metode ru’yat (melihat dengan mata). Ru’yat dilakukan menjelang terbenamnya matahari tanggal 29 Sya’ban, dengan ketentuan: jika saat itu ditemukan hilâl maka bertanda masuk bulan Ramadhan, jika hilâl tertutup awan atau belum kelihatan, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, dan hari berikutnya tanggal 1 bulan Ramadhan (jumlah hari dalam bulan Islam berkisar antara 29 atau 30 hari).
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilâl), dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalangi oleh awan (dari melihat hilâl), sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hasil ru’yat di bagian bumi manapun berlaku bagi seluruh kaum muslimin di dunia tanpa terkecuali, selama berasal dari persaksian seorang muslim (atau lebih) yang bâligh dan âdil (tidak fâsiq), serta tersebar-luaskan melalui jalur berita yang dapat dipercaya. Tidak diperhitungkan adanya perbedaan mathla’ (tempat kemunculan hilâl) menurut pendapat terkuat yang juga merupakan pendapat jumhûr (mayoritas) ‘ulama, yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali. Hal tersebut berdasarkan keumuman lafazh shûmû (berpuasalah kalian) dalam hadits shûmû li ru’yatih[i] (berpuasalah kalian karena melihatnya), dan berdasarkan fakta bahwa pergantian hari dan tanggal di seluruh dunia berlangsung sama. Artinya, jika ru’yat hanya berlaku lokal (berdasarkan mathla’) maka meniscayakan secara pasti akan adanya selisih dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan antara satu tempat dengan tempat lain karena perbedaan mathla’, sedangkan tidak mungkin tanggal 1 Ramadhan terjadi lebih dari satu kali dalam setahun.
Penetapan akhir bulan Ramadhan atau awal bulan Syawwal, dilakukan sebagaimana penetapan awal bulan Ramadhan, demikan juga berlaku bagi bulan-bulan lainnya.
Hukum Puasa di Yaum Asy-Syakk (Hari yang Diragukan)
Dilarang berpuasa di hari yang diragukan, yaitu hari ke-30 dari bulan Sya’ban ketika hilâl Ramadhan tidak tampak di penghujung hari ke-29 Sya’ban, kecuali bagi siapa-siapa yang sudah rutin berpuasa.
Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu berpuasa hingga melihat hilâl, jangan pula kamu berbuka hingga melihatnya, jika kamu terhalangi awan hitunglah bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketentuan Meng-Qodhâ’ (Membayar Hutang) Puasa Ramadhan
Bagi orang yang meninggalkan atau membatalkan puasa Ramadhan secara sengaja tanpa ‘udzr (alasan syar’i), maka ia telah berdosa besar dan harus bertaubat serta meng-qadhâ’ sesegera mungkin selepas Ramadhan, yaitu mulai tanggal 2 Syawwal (setelah hari raya) dan seterusnya sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Semakin yang bersangkutan mengulur-ulur waktu dalam meng-qadhâ’, maka semakin lama ia berada dalam ke-fâsiq-an, karena qadhâ’ adalah tanda pertaubatan.
Bagi yang meninggalkan atau membatalkan nya dengan ‘udzr, maka waktu qadhâ’ baginya adalah hingga bulan Sya’ban sebelum Ramadhan berikutnya. Haram menangguhkan qadhâ’ hingga masuk Ramadhan berikutnya padahal mampu melakukannya di rentang waktu tersebut. Jika terjadi demikian, selain bertaubat pelaku tetap harus meng-qadhâ’-nya di kesempatan berikutnya dan berlaku atasnya ketentuan sebagaimana orang yang meninggalkan tanpa ‘udzr di atas, demikian sterusnya.
Niat Puasa Ramadhan
Niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari, yaitu antara setelah terbenamnya matahari hingga sebelum terbitnya fajar.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar untuk berpuasa maka tidak ada (tidak sah) puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan Al-Baihaqi - sanad shahih)
Tidak dibenarkan melakukan niat hanya sekali di awal bulan untuk puasa satu bulan penuh, karena puasa Ramadhan adalah ibadah harian yang terpisah satu sama lain, yang batalnya puasa di sebagian hari-hari bulan Ramadhan tidak otomatis menggugurkan atau membatalkan puasa di hari-hari yang lain.
Suhur (Makan di Akhir Malam sebelum Fajar)
Disunnahkan suhur meski hanya dengan seteguk air, karena di dalamnya terdapat berkah yang melimpah, Allah swt serta para malaikat bershalawat atas pelakunya, dan melakukannya berarti juga menyelisihi puasanya Ahli Kitab yang tidak mengenal suhur. Disunahkan suhur dengan menggunakan kurma dan diakhirkan, dan batas akhir suhur adalah terbitnya fajar atau berkumandangnya adzan shalat subuh.
Dari Abu Hurairah ra, Bersabda Rasulullah saw: “Jika salah seorang diantara kalian mendengar adzan (untuk shalat subuh), sedangkan bejana masih di tangannya, maka janganlah ia letakkan hingga ia memenuhi kebutuhannya dari bejana tersebut.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ad-Daruquthni, dan Al-Hakim mensahihkan. demikian Adz-Dzahabi juga sepakat akan kesahihannya)
Yang boleh diteruskan untuk dimakan dan diminum hanya makanan yang sudah berada di tangan, dan adzan subuh tidak boleh dimajukan waktunya sekalipun dengan alasan ihtiyâth (sikap berhati-hati).
Ifthâr (Berbuka)
Sunnah hukumnya menyegerakan berbuka tepat setelah terbenamnya matahari di ufuk barat (waktu maghrib sebelum shalat), guna menyelisihi puasa Ahli Kitab yang mengakhirkan berbuka. Sunnah berbuka menggunakan kurma segar, jika tidak ada dengan kurma kering, jika tidak ada dengan beberapa teguk air putih. Sunnah membaca doa apa saja, diantara yang ma’tsur dan afdhal adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
“Ya Allah, aku memohon dengan Rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampuniku.” (HR. Ibn Majah dan Al-Hakim)
Perkara-perkara yang Membatalkan atau Merusak Puasa
- Tidak menghadirkan niat sejak malam. Termasuk di dalamnya anak-anak yang baru baligh di siang hari bulan Ramadhan, orang kafir yang ber-islam di siang hari, orang yang terlambat mendapat berita tentang sudah terlihatnya hilâl, orang pingsan, gila atau kesurupan yang baru sadar di siang hari tanpa memiliki niat puasa sejak malam, maka mereka tetap berpuasa di sisa hari tersebut dengan wajib meng-qadhâ’-nya, karena puasa mereka di sisa hari itu bukan puasa yang sempurna tapi sebatas ta’zhîm (penghormatan) terhadap bulan Ramadhan. Jika pingsan, gila atau kesurupan terjadi hanya sesaat di siang hari sedangkan di malam harinya sudah memiliki niat, maka terhitung sebagaimana tidur sesaat dan puasanya sah.
- Membatalkan niat di tengah-tengah puasa, secara otomatis membatalkan puasa.
- Makan dan minum dengan sengaja. Sedangkan yang tidak sengaja atau lupa, atau mencicipi makanan tanpa menelan, termasuk berkumur dan bersiwak, maka semua tidak membatalkan puasa. Adapun orang yang dengan sengaja berbuka karena mengira sudah maghrib, dan di kemudian waktu tahu bahwa saat itu belum masuk waktu maghrib, maka wajib meng-qadhâ’.
- Memasukkan secara sengaja zat berupa makanan, minuman, obat-obatan, atau lainnya melalui saluran hidung (semisal gurah dan asap rokok), membatalkan puasa berdasarkan larangan bagi orang yang berpuasa untuk mubâlaghah (memasukkan sedalam-dalamnya) saat istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dalam wudhu. Adapun menghirup udara yang mengandung debu, air (kabut) atau asap tanpa ada irâdah (kemauan) atau maksud maka tidak membatalkan puasa.
- Segala macam zat yang masuk ke dalam paru-paru dan lambung/perut membatalkan puasa, baik melalui rongga hidung dan mulut, maupun melalui kulit (operasi). Adapun zat yang masuk ke dalam tubuh yang tidak memiliki saluran untuk bisa sampai ke paru-paru dan lambung/perut semisal selang yang dimasukkan ke dalam kemaluan atau dubur, platina untuk menyambung tulang, obat tetes mata dan telinga dsb., semuanya tidak membatalkan puasa.
- Darah yang keluar saat Haidh dan Nifas. Adapun jika darah haidh dan nifas berhenti sebelum fajar dan masuk waktu terbit fajar dalam keadaan belum mandi besar maka tidak membatalkan puasa. Jika darah keluar selain karena haidh dan nifas, seperti darah istihâdhah, luka-luka, batuk, mimisan, dalam pengobatan (semisal bekam dan cabut gigi), mendonorkan darah, cuci darah, pengambilan sample darah untuk keperluan pemeriksaan dsb, maka tidak membatalkan puasa.
- Muntah dengan sengaja. Adapun muntah yang tidak sengaja maka tidak membatalkan puasa.
- Jima’ (bersetubuh) di siang hari bulan Ramadhan, baik mengeluarkan mani atau tidak. Bagi orang yang melakukannya maka membayar kaffarat (tebusan) berupa: membebaskan budak, jika tidak menemukan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu karena lemah atau sakit maka dengan memberi makan 60 orang miskin. Apabila jima’ atas inisiatif suami sedangkan isteri dalam posisi dipaksa, maka kaffarat hanya berlaku atas suami, apabila jima’ atas dasar sama-sama mau maka berlaku bagi keduanya.
- Mengeluarkan air mani dengan sengaja. Adapun jika keluarnya mani tidak dengan sengaja maka tidak membatalkan puasa, juga apabila keluar mani di malam hari (baik sengaja atau tidak) dan masuk waktu terbit fajar dalam keadaan junub maka tidak membatalkan puasa.
Mereka yang Mendapat Keringanan
- Bukan mukallaf (anak-anak dan orang pingsan, gila atau kesurupan yang berlangsung berhari-hari sepanjang siang dan malam), tidak ada puasa bagi mereka dengan tidak wajib meng-qadhâ’. Untuk anak-anak hendaknya sudah dilatih puasa ketika umur mereka memasuki pra-bâligh.
- Orang yang lemah fisik karena lanjut usia atau karena sakit yang tidak ada harapan sembuh (menurut perkiraan medis), boleh berbuka dengan membayar fidyah (memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan).
- Orang sakit yang ada kemungkinan sembuh namun kesulitan berpuasa, maka boleh berbuka dengan wajib meng-qadhâ’.
- Musâfir (orang yang dalam kondisi safar), boleh berbuka saat sudah dalam perjalanan bukan saat masih di rumah (sebelum berangkat), dengan wajib meng-qadhâ’. Batasan safar bukan berupa jarak tertentu, melainkan perjalanan keluar kota atau keluar dari tanah kelahiran secara mutlak, sebagaimana lazimnya ketika seseorang ditanya tempat kelahiran? maka jawabannya adalah nama kota.
- Wanita Haidh dan Nifas, dilarang puasa dengan wajib mengqadhâ’.
- Wanita Hamil dan Menyusui (selama ada rasa takut puasanya akan mengancam kesehatan Ibu dan Anak yang dikandung), maka boleh berbuka dengan wajib meng-qadhâ’.
- Orang yang berbekam, boleh berbuka dengan wajib meng-qadhâ’.
Amalan Selama Bulan Ramadhan
Dari sisi afdholiyyah, yang harus diperhatikan dalam memperbanyak amalan selama bulan Ramadhan adalah dimulai dari menjaga perkara wajib yang terikat dengan waktu yaitu Shalat Lima Waktu, kemudian memperbanyak kewajiban yang tidak terikat waktu seperti Dakwah, Thalabul-Ilmi (mempelajari Ilmu Dien), Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, dsb, kemudian amalan sunnah dengan berbagai macam bentuknya seperti memperbanyak Tilawah Al-Qur’an, Qiyam Layl dan shalat-shalat sunnah lainnya, memberi makan orang puasa dan bersedekah, berinfaq, I’tikaf, Dzikir, Istighfar, silaturrahmi, dll.
Yang tak kalah penting juga adalah, selain menjaga dari perkara-perkara pembatal puasa, dan memperbanyak amalan, juga harus menjaga diri dari hal-hal yang dapat menghilangkan pahala puasa sehingga seseorang tidak hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dari puasanya. Yakni dengan menjaga hati, lisan, mata, telinga, tangan, kaki anggota tubuh lainnya dari berbuat dosa.
Qiyam Ramadhan dan Malam Al-Qodr
Sunnah melakukan qiyam layl selama Ramadhan, baik berjama’ah maupun sendiri. Jumlah raka’at yang biasa dilakukan Nabi saw adalah 8 raka’at dengan ditutup 3 raka’at witir. Boleh lebih dari itu (tanpa ada batasan) dengan ketentuan dua raka’at-dua raka’at, dan disunnahkan ditutup dengan witir. boleh dilakukan di separuh malam pertama (sejak setelah shalat Isya’), dan sunnah di sepertiga akhir malam. Sangat dianjurkan di sepuluh malam terakhir Ramadhan berdasarkan fi’lur-Rasûl (perbuatan Rasulullah saw), karena diantara 10 hari tersebut (khususnya malam-malam ganjil) ada Malam Al-Qodr, satu malam yang lebih mulia dari 1000 bulan, di dalamnya dianjurkan untuk memperbanyak doa:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Suka Memaafkan, maka maafkanlah hamba.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah - sanad Sahih)
I’tikâf (berdiam di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt)
Disunnahkan melakukan I’tikâf di bulan Ramadhan, sebagaimana juga disunnahkan di luar Ramadhan. Wanita boleh melakukan I’tikâf di masjid dengan syarat mendapat izin dari suami atau walinya dan terjamin keamanannya dari bahaya atau fitnah. Tidak ada batasan waktu lamanya I’tikâf , ia boleh diawali dan diakhiri kapan saja. Jika berniat I’tikâf di 10 hari terakhir Ramadhan, hendaknya memulainya sejak hari ke-20 sebelum terbenamnya matahari (menjelang masuk hari ke-21). Seorang Mu’takif hanya keluar dari masjid untuk kebutuhan yang mengharuskan seperti memenuhi kebutuhan jasmani, berobat, dan bersuci. Jika keluarnya untuk hal yang tidak mengharuskan seperti untuk jual-beli, ke sekolah atau ke kantor, menemui isteri, dsb, maka I’tikâf -nya batal atau terputus.
Zakat Fitrah
Zakat fitrah yaitu zakat berupa makanan pokok manusia sebanyak 1 (satu) shâ’ (2,5 kg), yang diwajibkan atas setiap muslim tanpa terkecuali, baik mukallaf maupun bukan (orang gila dan anak-anak). Diwajibkannya zakat mulai terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan, karenanya bayi yang lahir dan orang yang meninggal di saat setelah terbenamnya matahari di akhir Ramadhan keduanya wajib dizakati. Boleh menyegerakan pembayaran zakat dari waktu diwajibkannya tanpa ada batas awal, adapun batas akhirnya adalah shalat ‘Ied. Zakat yang dibayarkan setelah shalat ‘Ied tidak sah sebagai zakat fitrah, hanya terhitung sebagai sedekah. Adapun orang kafir, mereka juga diwajibkan zakat karena termasuk mukallaf (lihat QS. Fushshilat [41]: 6-7), akan tapi amal mereka tidak diterima karena kekafirannya. Yang berhak menerima zakat fitrah adalah delapan golongan berikut.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, ‘amil (pengurus-pengurus zakat yang ditunjuk khalifah), para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, ...” (TQS. At-Taubah [9]: 60)
Memasuki Syawwal: Shalat ‘Ied dan Puasa Syawwal
Hukum Shalat ‘Ied secara berjama’ah dengan khuthbah seusai shalat adalah Fardhu Kifayah, seluruh kaum muslimin pria dan wanita sangat dianjurkan untuk mendirikannya dan yang berhalangan (wanita haidh) dianjurkan untuk menyaksikannya, karena terdapat kebaikan dan seruan kaum muslimin di dalamnya. Sunnahnya didirikan di luar masjid. Untuk wanita muslimah hendaknya keluar untuk shalat ‘Ied dengan berjilbab dan tidak ber-tabarruj (berpenampilan mengundang perhatian banyak orang) dan berwewangian.
Disunnahkan pula di bulan Syawwal untuk berpuasa 6 hari, tidak harus berturut-turut, baru boleh dimulai setelah hari raya, yaitu tanggal 2 Syawwal dan seterusnya (karena adanya larangan berpuasa di hari raya).
Shilaturrahmi
Shilaturrahmi dan saling bermaaf-maafan di hari raya ‘iedul fitri adalah sunnah hasanah (kebiasaan baik) yang menjadi tradisi masyarakat ini (terutama jawa). Tidak ada larangan selama memperhatikan hukum syara’ yang terkait dengannya, diantaranya:
- Dalam bertamu, mengucap salam dan minta izin maksimal tiga kali. Jika tidak ada jawaban atau ditolak maka sebaiknya pulang
- Diwajibkan bagi tuan rumah menghormati tamu dengan sebaik-baik penghormatan, terutama tiga hari pertama, selebihnya adalah mubah dan jika dilakukan terhitung sedekah
- Bagi yang bertamu hendaknya tidak berlama-lama karena akan menyulitkan tuan rumah
- Dalam bertamu, antara tamu laki-laki dan wanita wajib dipisah, dilarang ber-ikhtilâth (bercampur baur)
- Seorang Isteri dilarang keluar rumah tanpa seizin suami
- Seorang Isteri dilarang mengizinkan masuk tamu laki-laki ke dalam rumah tanpa seizin suami
- Diwajibkan keluar rumah dengan menutup aurat, khusus untuk wanita wajib mengenakan jilbab dengan tidak memakai wewangian atau bertabarruj
- Wanita muslimah dilarang melakukan safar yang memakan waktu sehari semalam tanpa disertai suami atau mahram
Berikut ini urutan mereka-mereka yang diutamakan dalam silaturrahmi: ibu, bapak, saudari, saudara, kerabat mulai dari yang terdekat dan terdekat, rekan bapak, tetangga, dst.
Demikian panduan singkat seputar Ramadhan dan Idul Fitri, semoga bermanfaat dan barokah.
Wallahu A'lam Bish-Showab
Malang, 13 Sya'ban 1432 H
[Azizi Fathoni]
globalmuslim.web.id
Posting Komentar